Dilansir dari https://jabarprov.go.id/berita/pemdakab-garut-tetapkan-kasus-difterisebagai-kejadian-luar-biasa-8506 , beberapa waktu lalu, Pemerintah Daerah Kabupaten (Pemdakab) Garut menetapkan kasus penyakit Difteri di Kabupaten Garut sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Hal tersebut tercantum dalam Surat Keputusan Bupati (Kepbup) Garut nomor 100.3.3.2/KEP.91-DINKES/2023, tanggal 20 Februari 2023, tentang Penetapan KLB Penyakit Difteri.
Pertanyaan yang biasa muncul di tengah masyarakat adalah sebenarnya apa yang dimaksud dengan KLB? Menurut Permenkes No 1501/Menkes/Per/X/2010, Kejadian Luar Biasa yang selanjutnya disingkat KLB, adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan dan/atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah.
Untuk jenis penyakit yang berpotensi menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB) sudah disebutkan dalam Permenkes ini, dimana salah satu penyakitnya adalah Difteri. Ketika terjadi KLB, maka langkah – langkah yang dilakukan antara lain penyelidikan epidemiologis, penatalaksanaan penderita yang mencakup kegiatan pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi penderita, termasuk tindakan karantina, pencegahan dan pengebalan, pemusnahan penyebab penyakit, penanganan jenazah akibat wabah, penyuluhan kepada masyarakat dan upaya penanggulangan lainnya.
Pertanyaan lanjutan terkait KLB Difteri yang terjadi di Kabupaten Garut Jawa Barat adalah apa yang di maksud dengan Difteri? Menurut Kementerian Kesehatan, Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular yang dapat dicegah dengan imunisasi, disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diptheriae strain toksigenik. Penularan terjadi secara droplet (percikan ludah) dari batuk, bersin, muntah, melalui alat makan, atau kontak erat langsung dari lesi di kulit. Apabila tidak diobati dan kasus tidak mempunyai kekebalan, angka kematian sekitar 50%, sedangkan dengan terapi angka kematiannya sekitar 10% (CDC Manual for the Surveilans of Vaccine Preventable Diseases, 2017). Angka kematian Difteri rata-rata 5 – 10% pada anak usia kurang 5 tahun dan 20% pada dewasa diatas 40 tahun (CDC Atlanta, 2016).
Penyakit difteri ditandai dengan gejala awal badan lemas, sakit tenggorok, pilek seperti infeksi saluran napas bagian atas pada umumnya. Gejala ini dapat berlanjut berupa adanya bercak darah pada cairan hidung, suara serak, batuk dan atau sakit menelan. Pada anak bisa terjadi air liur menetes atau keluarnya lendir dari mulut. Pada kasus berat, akan terjadi napas berbunyi (stridor) dan sesak napas, dengan demam atau tanpa demam. Kulit juga bisa terinfeksi dengan kuman difteri, secara klinis luka ditutupi selaput ke abu-abuan. Masa Inkubasi penyakit difteri antara 1 – 10 hari (Centers Disease and Control) dengan rata-rata 2 – 5 hari (Word Health Organization). Komplikasi difteri dipengaruhi oleh usia kasus, kecepatan & ketepatan pengobatan dan strain kuman difteri. Komplikasi difteri yang sering terjadi adalah miocarditis (infeksi pada selaput jantung) pada minggu ke dua sakit, komplikasi lainnya bisa terjadi pada 2 – 6 minggu sakit yaitu kelumpuhan syaraf pusat dan perifer, bahkan gejala neuritis (gangguan pada saraf) terus terjadi dalam jangka waktu yang lama meskipun penyakit difterinya sudah sembuh. Neuritis sering terjadi pada syaraf hidung yang menyebabkan perubahan suara dan cairan hidung keluar terus menerus, pada syaraf mata yang menyebabkan pandangan kabur, atau pada otot diafragma dan anggota gerak yang sering tidak bisa dibedakan dengan GBS (Guillan-Barre Syndrome).
Diagnosis difteri dibuat secara klinis maupun laboratoris. Diagnosis klinis dibuat oleh klinisi berdasarkan gambaran klinis kasus yaitu adanya gejala faringitis, tonsilitis, laringitis, trakeitis, atau kombinasinya disertai demam ringan/sedang atau tanpa demam dan adanya pseudomembran putih keabu-abuan yang sulit lepas, mudah berdarah apabila dilepas atau dilakukan manipulasi. Sedangkan diagnosis laboratoris berdasarkan hasil pemeriksaan kultur kuman difteri pada sediaan apus tenggorok kasus.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah KLB Difteri bisa di cegah? Jawabannya adalah KLB Difteri bisa di cegah. Sesuai dengan kalimat yang sering kita dengan “Lebih baik mencegah dari pada mengobati”. Begitu pun dengan KLB Difteri. Lebih baik lakukan tindakan pencegahan terjadinya KLB Difteri dari awal, dari pada melakukan tindakan penanggulangan. Karena dampak dari KLB Difteri, begitu luar biasa. Baik dari segi dampak Difteri pada penderita, mau pun dari segi pembiayaan yang di keluarkan oleh Pemerintah.
Satu – satunya pencegahan agar tidak terserang Difteri adalah dengan Imunisasi. Untuk itu, bagi yang memiliki bayi/balita, dapat membawa anaknya ke fasilitas kesehatan terdekat untuk mendapatkan Imunisasi Rutin Lengkap (IRL), dengan jadwal pemberian sesuai usia. Saat ini vaksin untuk imunisasi dasar dan imunisasi lanjutan yang diberikan guna mencegah penyakit Difteri ada 3 macam, yaitu: DPT-HB-Hib (vaksin kombinasi mencegah Difteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis B dan Meningitis serta Pneumonia yang disebabkan oleh Haemophylus infuenzae tipe B), DT (vaksin kombinasi Difteri Tetanus) serta Td (vaksin kombinasi Tetanus Difteri).
Imunisasi tersebut diberikan dengan jadwal, sebagai berikut Imunisasi dasar diberikan pada Bayi usia 2, 3 dan 4 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib dengan interval/jarak 1 bulan dan Imunisasi Lanjutan yang diberikan pada :
- Anak usia 18 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib 1 kali.
- Anak Sekolah Dasar/Madrasah/sederajat kelas 1 diberikan vaksin DT pada BulanImunisasi Anak Sekolah (BIAS).
- Anak Sekolah Dasar/Madrasah/sederajat kelas 2 dan 5 diberikan vaksin Td padaBulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS).
- Wanita Usia Subur (termasuk wanita hamil) diberikan vaksin Td, melalui skrining status imunisasi tetanusnya terlebih dahulu.
Penulis: YUMIATI KE LELE
NIM : 294221001
Editor: Erni Astutik