Bapak Irham : “Mbak Cahya, ada laporan kasus Difteri. Nanti malam ikut PE (penyelidikan epidemiologi) ya.
Cahya : “Siap Pak Irham, lokasi kasus di mana Pak? Berangkat jam berapa?”
Bapak Irham : “Masih dirawat di rumah sakit. Berangkat setelah Isya’ ya…”
Cahya : “Siaaap Pak… laksanakan”
Penggalan percakapan melalui salah satu aplikasi komunikasi online seperti yang tercantum di atas rasanya menjadi hal yang biasa bagi petugas surveilans di wilayah, bahkan bagi mahasiswa minat epidemiologi lapangan (Field Epidemiology Training Program – FETP) saat melaksanakan praktikum lapangan. Sebagai seorang mahasiswa FETP yang dididik dan dipersiapkan menjadi salah satu “pasukan” investigator penyakit, tentu menjadi sebuah kewajiban harus siap sedia kapan pun untuk melakukan penyelidikan epidemiologi (PE) atau investigasi ketika diperlukan. Seperti halnya yang saya alami saat melaksanakan Praktikum Lapangan 1 (Analisis Masalah Kesehatan). Walaupun dalam kurikulum praktikum lapangan 1 tidak menyebutkan bahwa mahasiswa yang bertugas wajib turut serta dalam pelaksanaan kegiatan lapangan, namun permintaan bantuan melaksanakan investigasi kasus seperti sebuah panggilan jiwa bagi saya sehingga wajib dan harus saya lakukan.
Sebagai mahasiswa semester 1 minat FETP Universitas Airlangga, saya melaksanakan praktikum lapangan 1 selama periode 8 Januari – 2 Februari 2024. Kabupaten Sumenep yang menjadi lokasi pelaksanaan merupakan salah satu kabupaten/kota dengan kasus penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) di tahun 2024, termasuk di dalamnya adalah Difteri. Sebagai salah satu penyakit potensial kejadian luar biasa (KLB), jika ditemukan 1 (satu) saja kasus suspek Difteri maka harus direspon cepat 1 x 24 jam dan ditatalaksana sesuai dengan ketentuan (Kementerian Kesehatan, 2023). Sama halnya dengan yang terjadi saat pelaksanaan praktikum lapangan saya di Dinas Kesehatan Kabupaten Sumenep. Saat itu petugas surveilans Dinas Kesehatan mendapatkan laporan adanya kasus suspek Difteri yang dirawat di RSUD dr. Moh. Anwar. Setelah petugas surveilans melakukan pelaporan singkat secara berjenjang dan konsultasi ke Komite Ahli Difteri melalui Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur (sesuai dengan ketentuan Kementerian Kesehatan), selanjutnya petugas melakukan investigasi kasus.
Investigasi kasus Difteri dilakukan dalam waktu 1 x 24 jam sejak kasus dilaporkan (Kementerian Kesehatan, 2023), dengan tujuan agar segera didapatkan data – data epidemiologi yang sangat berguna dalam pencegahan kasus Difteri agar tidak menyebar lebih luas. Dalam pengalaman kali ini, investigasi kasus dilakukan saat malam hari karena memang laporan kasus baru saja diterima sore harinya oleh petugas surveilans. Saat menerima informasi akan dilakukan investigas, saya dalam posisi sedang mengerjakan analisa data untuk bahan analisis masalah kesehatan yang saya laksanakan dalam praktikum lapangan 1. Sebagai mahasiswa FETP, sudah seyogyanya saya siap sedia kapan pun ketika dibutuhkan dalam pelaksanaan investigasi lapangan.
Sumber: Dokumentasi pribadi
Mahasiswa FETP Bersama Petugas Surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten Sumenep Saat Persiapan Investigasi Kasus Suspek Difteri
Pelaksanaan investigasi Difteri dilakukan dengan wawancara kepada kasus/orang tua kasus menggunakan formulir Dif-1 yang mencakup berbagai pertanyaan tentang identitas kasus, status imunisasi, riwayat sebelum sakit, sampai dengan riwayat kasus melakukan kontak kepada orang terdekat yang ditemui 10 hari sebelum timbul gejala/sakit tenggorok sampai 2 hari setelah mendapatkan pengobatan (masa penularan) (Kementerian Kesehatan, 2023). Investigasi yang dilakukan pada tanggal 18 Januari 2024 sekaligus bersamaan dengan pengambilan spesimen untuk dikirimkan ke laboratorium sebagai diagnosis pasti Difteri. Pengambilan spesimen dilakukan oleh petugas yang sudah terlatih.
Sumber: Dokumentasi pribadi
Mahsiswa FETP Melakukan Wawancara kepada Kasus Suspek Difteri dan Orang Tua Kasus Ketika Pelaksanaan Investigasi
Dari pengalaman turut serta dalam pelaksanaan investigasi Difteri ini saya belajar dan lebih memahami bahwa sebagai petugas surveilans, hanya ada dua pilihan saat menemukan atau mendapatkan laporan kasus yaitu “pilihan siap” dan “pilihan sangat siap” kapan pun dan di mana pun investigasi kasus harus dilaksanakan. Bukan tanpa sebab kedua pilihan itu ada. Jika petugas surveilans tidak “sat set wat wet” dalam merespon, maka tidak akan bisa didapatkan data – data esensial sebagai dasar dalam menghasilkan informasi epidemiologi yang baik. Informasi ini akan sangat berguna sebagai dasar dalam pengendalian dan tindak lanjut selanjutnya terhadap kasus. Selain hal tersebut, dalam kasus Difteri ini jika investigasi terlambat dilakukan maka potensi penularan dan persebaran bakteri Corinebacterium diphteriae sebagai penyabab Difteri dikhawatirkan akan semakin meluas mengingat transmisi kasus dapat terjadi dari orang ke orang melalui percikan ludah saat berbicara (droplet) atau bersin/batuk. Dengan peran hebat seperti itu, maka patut berbangga bagi orang yang menjadi petugas surveilans (epidemiologist), termasuk orang yang menjadi mahasiswa FETP sebagai calon advanced epidemiologist. “I’m proud to be FETP student, I’m proud that disease can be detected earlier so outbreaks can control faster”.
Penulis: Cahya Yuliani